Senin, 19 Mei 2008

FUNGSI DAN PERAN KOMITE SEKOLAH

Dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah melalui upaya peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pencapaian demokratisasi pendidikan selalu mengupayakan adanya dukungan yang lebih optimal dari komite sekolah, diantaranya adalah :

  • Memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, RAPBS, kriteria kinerja satuan pendidikan, tenaga kependidikan, fasilitas dan hal lain yang terkait dengan pendidikan.

  • Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan, menggalang dana masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, serta mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaran pendidikan yang bermutu.

  • Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan, keluaran pendidikan

  • Melakukan kerjasama dengan masyarakat dan menampung aspirasi, ide, tuntutan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

Di samping itu, komite sekolah juga berfungsi diantaranya mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Melaksanakan kerjasama dengan masyarakat perseorangan/organisasi, pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Menampung dan menganalisa aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan peningkatan pendidikan termasuk melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan. Pelbagai fungsi, tugas dan tanggung jawab dewan pendidikan serta komite sekolah yang sangat berat tersebut, tentunya membutuhkan figur anggota komite sekolah yang benar-benar solid. Baik solid dalam menggalang ide-ide kreatif, inovatif dan visioner dari masyarakat, maupun kompak dalam mengawal visi dan misi sekolah. Sehingga pihak sekolah pun dituntut kerja ekstra, untuk mencari dan menemukan sosok ideal anggota komite sekolah yang memenuhi kreateria semacam ini.

Di sinilah, peran komite sekolah diharapkan bisa menempati wilayah yang strategis tersebut. Mengapa komite sekolah yang harus menempati post ini? Sebab ditilik berdasar pada acuan pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah, komite sekolah berfungsi sebagai; pemberi pertimbangan (Advisory Agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Pendukung (Supporting Agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengontrol (Controlling Agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan dan mediator antara pemerintah (Eksekutif) dan DPRD (Legislatif) dengan masyarakat.

Komite sekolah dibentuk di setiap sekolah sebagai hasil dari SK Menteri No. 202 untuk desentralisasi. Komite diharapkan bekerjasama dengan kepala sekolah sebagai partner untuk mengembangkan kualitas sekolah dengan menggunakan konsep manajemen berbasis sekolah dan masyarakat yang demokratis, transparan, dan akuntabel.

Undang-undang pendidikan bulan Juni 2003 (pasal 56) memberikan kepada komite sekolah dan madrasah peran untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan melalui: (i) nasihat; (ii) pengarahan; (iii) bantuan personalia, material, dan fasilitas; maupun (iv) pengawasan pendidikan. Buku Pedoman memberikan rincian lebih lanjut mengenai peran-peran tsb sedang dalam proses.

Menurut keputusan Menteri Pendidikan Nasional, Komite Sekolah berperan sebagai pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan mediator sekolah. Sampai saat ini di sebagian besar sekolah peran komite sekolah masih terbatas pada pengumpulan dana. Pada umumnya anggota komite sekolah dipilih oleh kepala sekolah dan mengikuti perintahnya, mereka kurang dapat mengambil inisiatif sendiri.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab komite tidak mampu menjalankan fungsi sebenarnya. Pertama, buruknya sosialisasi. Sebagai kebijakan baru, pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang menjadi penggagas, semestinya memberi informasi dengan baik pada semua unsur yang akan melaksanakan maupun menerima kebijakan. Akan tetapi, model sosialisasi yang dipakai pemerintah masih buruk dan jauh dari prinsip demokrasi yang justru ingin diusung dalam pembentukan komite.

Pertama, sosialisasi masih top-down. Jalur yang dipakai adalah birokrasi, dari Departemen Pendidikan Nasional ke Dinas Pendidikan di provinsi maupun kabupaten/kota, lalu ke dinas kecamatan, setelah itu ke kepala sekolah. Cara lain, mengumpulkan kepala sekolah lalu ditatar selama beberapa hari. Harapannya, kepala sekolah mengerti dan kemudian menatar guru-guru di sekolahnya.

Sementara itu, bagi masyarakat yang tidak masuk dalam jalur birokrasi, Departemen Pendidikan Nasional membuat iklan layanan masyarakat yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi. Selain waktunya yang cukup singkat, isi dalam tayangan iklan ini tidak jelas. Komite digambarkan hanya memobilisasi dana dari masyarakat.

Kedua, minimnya pemahaman guru dan orangtua siswa. Buruknya sosialisasi menjadi penyebab utama guru yang menjadi bagian hilir alur birokrasi pendidikan dan orangtua siswa tidak mendapat informasi yang lengkap mengenai komite. Hasil riset Indonesia Corruption Watch di Jakarta pada 2003, 58 persen guru dan 59,9 persen orangtua siswa menganggap komite sama dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Bahkan 37,6 persen orangtua siswa belum pernah mendengar komite.

Padahal komite dibentuk supaya bisa menjadi representasi kepentingan stakeholder sekolah yang memerlukan inisiatif serta peran aktif orangtua siswa dan guru. Akan tetapi, tanpa mengetahui komite, misalnya bagaimana cara membentuk dan apa saja fungsinya, inisiatif tersebut sulit diharapkan bisa muncul.

Ketiga, komite dibentuk kepala sekolah. Supaya dianggap telah menjalankan program pemerintah sehingga tidak ada tekanan dari dinas, keberadaan komite menjadi hal wajib di sekolah. Namun, di sisi lain, belum ada inisiatif dari masyarakat maupun guru untuk membentuk. Biasanya cara yang dipakai kepala sekolah untuk menyiasatinya dengan mengganti BP3 menjadi komite atau membentuk komite dengan menunjuk orangtua yang dianggap bisa bekerja sama dengan kepala sekolah.

Hasilnya, komite hanya menjadi wadah penyalur aspirasi kepala sekolah dan menjadi ujung tombak dalam menarik dana dari orangtua siswa. Keberadaannya tidak bisa menjadi penyeimbang kekuasaan kepala sekolah yang demikian besar, tapi malah menambah besar.